oPOWmwJgFpDZGGREinivYyjG5tmdOTmGHFQPsudj
nahwushorof.com
nahwushorof.com

Penjelasan Maf’ul bih Dan Contohnya

Contoh maf’ul bih berupa isim mufrad, Contoh maful bih berupa isim tasniyyah/mutsanna, Contoh maful bih berupa jama’ muzakkar salim, muanats salim.
Sudah menjadi ketentuan yang paten, bahwasanya untuk membuat kalimat yang sempurna harus membutuhkan subjek, predikat, objek dan keterangan. Apabila tidak lengkap masih bisa dikatakan kalimat namun tidak sempurna. Dalam kaidah bahasa Arab, ada pembahasan khusus mengenai maf’ul bih (objek). Bagaimana pengertiannya, tanda i’rob (harokat), dan ketentuannya?

Pengertian Maf'ul Bih

Dalam bahasa Indonesia, maf’ul bih disebut dengan objek. Yaitu orang atau apa saja yang menjadi sasaran pelaku.
Dalam kaidah nahwu disebutkan:
هُوَ الاِسْمُ المَنْصُوْبُ الَّذِىْ يَقَعُ بِهِ الفِعْلُ
Artinya: "Maf'ul bih adalah Isim manshuf yang menjadi sasaran perbuatan (objek)".
Maka, jelas sekali, yang dimaksud maf’ul bih menurut ahli nahwu adalah isim manshub dimana posisinya menjadi sasaran perbuatan si pelaku.

Contoh Maf'ul Bih

Contoh 1:
فَتَحَ اَحْمَدُ الْبَابَ 
"Ahmad Membuka Pintu"
Yang menjadi sasaran dalam contoh di atas adalah pintu (الْبَابَ). Jadi pintu disini kedudukannya sebagai maf’ul bih.

Contoh 2:
اَكَلْتُ الْخُبْزَ 
"Saya memakan roti"
Yang menjadi sasaran dalam contoh di atas adalah roti (الْخُبْزَ). Jadi roti disini kedudukannya sebagai maf’ul bih.

Contoh 3:
ضَرَبَ اِبْرَاهِيْمُ الْكَلْبَ 
"Ibrahim memukul anjing"
Yang menjadi sasaran dalam contoh di atas adalah anjing (الْكَلْبَ). Jadi anjing disini kedudukannya sebagai maf’ul bih.

Kaidah atau Ketentuan Maf’ul Bih

Nah seperti yang sudah dijelaskan di atas, soal penempatan tidak boleh sembarangan. Tujuannya agar terbentuk kalimat yang sempurna, tidak rancu, mudah dipahami dan tidak menimbulkan multi tafsir atau kesesatan berpikir. Lalu apa saja ketentuan yang harus dipatuhi?

1. Posisi Standar

Pertama untuk posisi standar objek dalam bahasa Arab urutannya adalah fi’il (kata kerja), fa’il (pelaku) dan maf’ul (objek). Contohnya adalah:
 يَفْتَحُ أَحْمَدُ الْأَبْوَابَ  
"Ahmad sedang membuka beberapa pintu"
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللّهِ 
"Saya bertanya kepada Rasulullah".

2. Maf’ul Boleh Didahulukan apabila Fa’ilnya Berupa Isim Dhohir

Karena biasanya posisi objek ada di belakang, ada syarat yang harus dipenuhi apabila ingin meletakkannya sebelum subjek, dengan syarat keduanya harus berupa isim dhohir. Contohnya:
 يَجْنِي القُطْنَ الفَلَّاحُ
"Petani sedang menuai kapas".

3. Boleh Mendahulukan Objek sebelum Kata Kerja

Boleh didahulukan sebelum kata kerja dengan syarat subjek dan objeknya berupa isim dhohir. Contoh: 
فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ
"kelompok yang Anda bohongi, dan kelompok yang Anda bunuh".

4. Wajib Mengedepankan Maf’ul apabila Berupa Isim Dhomir

Isim dhomir adalah kata ganti, bisa berupa nama orang atau yang lainnya. Contoh:
أَكْرَمَنِيْ أَحْمَدُ
"Ahmad telah memuliakan saya". 
Posisi dhomir "nii (نِيْ)" di sini sebagai objek yang harus dikedepankan namun berstatus sebagai isim dhomir.

5. Wajib Mengakhirkan untuk Menghindari Kesalahpahaman

Catatan yang paling penting, apabila memang tidak bisa diletakkan di depan maka jangan dipaksakan. Hal ini dikhawatirkan akan timbul sebuah kesalah pahaman. Contoh:
 أَكْرَمَتْ عَائِشَة فَاطِمَة 
 "Aisyah memuliakan Fatimah".

Apabila Fatimah didahulukan maka banyak yang mengira jika Aisyah adalah maf’ul padahal dari segi susunan dhomirnya tidak demikian. Jadi memang harus berhati-hati.

6. Maf’ul Wajib Didahulukan apabila Berupa Isim Dhomir Munfashil

Dhomir munfashil adalah kata ganti yang mampu berdiri sendiri tanpa harus disambungkan dengan isim. Contohnya adalah huruf “ka” pada kalimat :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ 
"Hanya kepada Engkaulah Kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah Kami mohon pertolongan". Kata إِيَّاكَ didahulukan karena jika diletakkan di akhir akan berbeda makna.


Fi’il dan Fa’il Boleh Dihilangkan

Boleh saja menghilangkan fi’il atau fa’il apabila menggunakan maf’ul saja sudah memahami apa yang dimaksud dari sebuah kalimat. Contohnya apabila ada seseorang bertanya “Kamu bertemu siapa kemarin”, maka cukup dijawab “Ali” saja atau “Muhammad” saja. Posisinya sebagai maf’ul sudah cukup menjelaskan, tanpa harus “saya bertemu Ali”.

Tanda I’rob Maf'ul Bih

Selanjutnya membahas tentang tanda i’rob atau harokatnya. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa maf’ul adalah isim manshub yang artinya i’robnya adalah nashab berharokat fathah, alif, kasroh dan ya’. Namun yang menjadi catatan:
 "Tanda ini hanya berlaku pada isim mu’rab (yang bisa diharokati) saja".

1. Fathah ( -َ )

Fathah menjadi tanda nashab pada objek apabila maf'ulnya:
Isim mufrod (menunjukkan arti satu)
Contoh: 
 ضَرَبَ خَلِيْلٌ كَلْبًا 
"Kholil telah memukul Anjing".
Jama’ taksir (menunjukkan arti banyak)
Contoh:

كَتَبَ الْمُدَرِّسُ الرَّسَائِلَ 
"Guru telah menulis Surat-surat".

2. Alif ( ا )

Alif menjadi tanda nashab apabila maf'ulnya:
- Asma’ul khomsah (isim-isim yang lima). 
Contoh:
رَأَيْتُ أَبَاكَ
"Saya melihat ayah kamu".
Kata أَبَاكَ di sini termasuk asma’ul khomsah. Sehingga apabila menjadi maf’ul maka ditandai dengan alif  (ا) yang terletak setelah huruf ba’.

3. Kasroh ( -ِ )

Kasroh menjadi tanda nashab apabila maf'ulnya:
Jamak muannats salim (menunjukkan arti banyak perempuan). 
Contoh:
رَاَيْتُ الطَّالِبَاتِ
"Saya melihat beberapa murid (perempuan)".

4. Ya’ (ي)

Ya’ menjadi tanda nashab apabila maf’ul bih :

- Jama’ mudzakkar salim (Isim yang menunjukkan banyak laki-laki)
Contoh:
رَأَيْتُ الْمُسْلِمِيْنَ
"Aku melihat Orang-orang muslim".
- Isim mutsanna/Tasniyah (isim yang menunjjukan jumlah 2)

رَأَيْتُ الْمُسْلِمَيْنِ
"Aku melihat dua orang muslim".

Perhatikan harokat pada kata الْمُسْلِمِيْنَ dan  الْمُسْلِمَيْنِ ada ya’ sebelum huruf akhir.

Walaupun kaidah dan ketentuan maf’ul bih cukup banyak, tapi tidak perlu pusing memikirkannya. Cukup ketahui terlebih dahulu mana fi’il dan fa’ilnya kemudian mencari artinya dalam kamus. Dari sana sudah bisa ditentukan mana objek, kaidah serta i’rob yang mana.